Menerabas Stigmatisasi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia

Oleh : Shandi Ismail

(Kader PMII STAI HAS)

Dewasa ini, hati kita tiada henti-hentinya merasa pilu akan maraknya kasus kekerasan seksual yang dikabarkan melauli berbagai portal media di Indonesia. Mulai dari kasus Novia dan Randi, Herry Wirawan, Laura dan Gaga, dan masih banyak bentuk kekerasan berbasis gender baik online maupun langsung yang terjadi akhir-akhir ini. Hal tersebut merupakan representatif bahwa masyarakat Indonesia masih kurang akan kesadaran tentang batasan-batasan atas otoritas ketubuhan orang lain. Dimana setiap orang memiliki otoritas penuh terhadap tubuhnya dan tidak boleh ada dari pihak luar yang mengatur, merugikan, bahkan merusak tubuhnya. 

Masyarakat Indonesia sangat terkonstruksi secara sosial dan budaya oleh ideologi gender yang mempatkan laki-laki pada posisi, fungsi, dan peran yang lebih dominan daripada perempuan atau biasa disebut sebagai sistem patriarki. Sistem patriarki ini memacu banyak terjadinya fenomena ketidakadilan gender salah satunya yaitu kekerasan seksual. Pribudiarta N. Sitepu selaku Sekretaris Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengatakan bahwa terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dalam tiga tahun terakhir. Ada sekitar 26.200 kasus yang terdata pada KemenPPA. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen. Berdasarkan data tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa efek hegemoni dari sistem patriarki sangat berdampak terhadap individu perempuan sendiri.

Dampak dari kekerasan seksual tidak boleh sedikitpun diremehkan. Korban kekerasan seksual bisa mengalami dampak psikologis maupun fisik. Gangguan psikologis yang terjadi dapat berupa trauma, depresi serta stres yang mengakibarkan terganggunya kinerja dan fungsi otak. Sedangkan dampak fisik yang dialami dapat memicu penularan Penyakit Menular Seksual (PMS), bahkan pada kasus yang parah korban akan mengalami keursakan pada organ internal.

Korban yang telah dirugikan oleh pelaku masih mendapatkan sanksi sosial dari lingkungan sekitar berupa Stereotype dan Labeling yang sepantasnya disandarkan kepada pelaku. Bahkan dalam mendapatkan kepastian hukum saja, tak jarang aparat yang melayangkan stigma kepada korban kekerasan seksual. Korban sangat lekat dalam bayang-bayang stigma dan diskriminasi. Lingkungan menganggap korban adalah faktor utama yang mengakibatkan dirinya sendiri dilecehkan. Masyarakat berasumsi bahwa korban sebagai perempuan nakal, kotor, dan hina. Tak jarang juga korban selalu dijustifikasi karena pakaian yang ia kenakan, perilaku yang memancing birahi, dan justifikasi tak masuk akal lainnya. Bahkan lebih parah lagi terjadi kepada perempuan yang hamil akibat dari kekerasan seksual, ketika dia melahirkan masyarakat akan menyebut bayinya sebagai “anak haram”. Padahal kekerasan seksual dapat terjadi kepada kaum muda sampai tua, pakaian terbuka sampai yang bercadar, di transportasi umum, di rumah, dipondok pesantren, bahkan menimpa pada perempuan yang sedang salat di masjid. Itu merupakan bukti bahwasanya kekerasan seksual tak terbatas oleh gender, pakaian, tempat, dan aktifitas manapun.

Stigma yang terbangun di masyarakat mengakibatkan banyaknya korban kekerasan seksual enggan untuk melapor kepada pihak yang berwajib. Bahkan tak sedikit keluarga korban sebagai orang yang terdekat berusaha menyembunyikan kasus ini karena dianggap sebagai aib keluarga. Seolah-olah eksistensi korban kekerasan seksual dibunuh oleh stigma yang ada disekitarnya sehingga korban termasuk dalam kelas masyarakat paling bawah dan termarjinalkan. 

Paradigma yang harus direkonstruksi ulang adalah perihal cara masyarakat memandang kekerasan seksual. Hal ini bisa diupayakan melalui :

1. Kampanye sosial terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang didalamnya meliputi batas serta otoritas ketubuhan, macam-macam kekerasan seksual, dan penyadaran akan stigma dan stereotip yang salah. 

2. Pemberian ruang aman untuk korban memproses serta memahami kasus yang terjadi dalam bentuk afirmasi positif bahwa korban tidak salah dan tidak akan berjuang sendirian 

3. Menjauhkan korban dari penghakiman serta pastikan selalu menawarkan dukungan dan advokasi untuk korban kekerasan seksual.

Semoga dari tulisan ini kita menganggap semua manusia itu bernilai. Semua manusia memiliki hak untuk hidup, hak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, dan pastinya hak untuk aman dari kekerasan seksual.


Cikarang, 7 Januari 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 Keistimewaan Orang Berpuasa

Ramadan Segera Berakhir, Sedih atau Senang?

Sholat Tarawih, hukum hingga do’a kamilin